Program Kartini Bangun Negeri (KABARI) sudah memasuki pertemuan ke-14. Dalam Pertemuan tersebut terdapat dua sesi penyampaian materi yang dilakukan oleh dua narasumber yang berbeda. Pada sesi pertama materi yang berikan bertema Peta Empati Konsumen, materi tersebut disampaikan oleh Yudhi Soerjoatmodjo. Beliau bekerja di majalah Tempo dan pekerjaan lain beliau adalah redaktur dan konsultan di majalah Matra dan Harian Republika. Ia juga bertindak sebagai redaktur foto untuk antologi sastra Indonesia dalam terjemahan Inggris, Managarie yang diterbitkan oleh Yayasan Lontar.
Melanjutkan dari pertemuan sebelumnya dengan menjelaskan secara detail kartu persona konsumen dan contoh pengisian kartu persona konsumen. Contoh pengisian kartu persona menggunakan data dari Pak Samsul yang merupakan owner rumah batik Citra Art dengan konsumen bernama Ibu Veni. Selanjutnya menjelaskan peta empati konsumen dengan dan contoh pengisian peta ekosistem konsumen. Contoh pengisian peta ekosistem menggunakan data dari Ibu Gadis dengan konsumen bernama Ibu Ella, Ibu Ita, dan Ibu Lurah.
Pada sesi kedua dilanjutkan oleh Ibu Adinindyah dari Lawe Indonesia dengan materi kewirausahaan ekraf. Beliau merupakan pelestari kain tenun yang berasal dari Yogjakarta yang tergabung dalam Lawe Indonesia. Pada sesi tersebut Lawe Indonesia sebagai contoh back practise kewirausahaan ekraf di Indonesia.
Lawe merupakan usaha sosial yang didirikan untuk melestarikan kain tenun tradisional. Bagaimana lawe berperan pada pelaku tenun yang rata-rata sudah lanjut usia untuk bisa mengembangkan skill dan metode pemasaran yang efektif bagi kain tenun.
Proses peningkatan kerja yang diberikan berupa penciptaan nilai lebih dari proses tenun dan berusaha mencari terobosan baru yang lebih baik. Misalnya lurik yang merupakan kain yang digunakan oleh prajurit ketanggung (rakyat jelata) dengan motif yang kurang disukai oleh masyarakat umum.
Kemudian Lawe mencoba untuk menciptakan kreasi baru yang dapat diterima oleh masyarakat dengan cara membuat bentuk motif baru seperti burung-burung di Indonesia yang sangat etnik. Selain itu, melakukan transformasi tenun menjadi produk fungsional yang mampu diserap oleh masyarakat secara luas. Tak pula juga konsep ramah lingkungan menjadi nilai lebih pada produk tenun yang dikelola oleh Lawe Indonesia.
Pelatihan yang dilaksanakan dalam dua sesi tersebut sangat aktif, hal itu terjadi karena narasumber mencoba membuka dialog dengan peserta melalui pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan pemahaman materi yang diberikan.